Dedikasi Untukmu Kawan

Rabu, 16 Maret 2011
Tiga puluh lima hari, bukanlah waktu yang singkat. Namun, bagiku waktu itu terasa sangat singkat dimana aku dapat mengenal dunia yang mungkin sebelumnya tak pernah kukenal, apalagi kusentuh. Tiga puluh lima hari, adalah waktu dimana ku bisa –setidaknya- sedikit mengerti hal mengenai untuk apa aku hidup, untuk apa aku belajar, dan untuk apa aku, aku, dan aku yang lain. Bersama orang-orang yang bahkan sebelumnya sama sekali tak ku ketahui, dan tak heran juga apabila pada mulanya terkadang menimbulkan berbagai macam prasangka. Tiga puluh lima hari, yang sempat ku kira kalau aku terdampar di sebuah tempat yang tak kan membuatku nyaman. Tempat yang jauh, berlatarkan sawah, hutan, gunung, jalan berbatu.Yaah, inilah sebuah proses. Segala sesuatu yang asing bisa saja menjadi suatu kebiasaan dan mungkin sangat susah untuk dipikirkan ulang. Biarpun memori di otak ku sudah penuh dengan berbagai macam pikiran, namun aku pun tak bisa memungkiri kalau tiga puluh lima hari ini benar-benar sangat berarti. Mungkin tidak hanya aku yang merasa seperti ini. Banyak sekali. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang bernasib sama sepertiku.Tiga puluh lima hari ini kadang membosankan. Bah! Kadang bingung juga dengan apa yang searusnya aku lakukan dan tidak aku lakukan. Di sisi lain, hal yang membosankan ini buatku begaikan hanya segelintir debu yang menempel di tembok dibandingkan dengan warna-warni yang lebih, lebih, dan lebih menyenangkan. Rentang waktu yang sangat singkat itu sudah cukup memberiku banyak pelajaran, dan tak akan bisa diukur dengan parameter materi. Semuanya abstrak, tap nyata. Tak tersentuh, tapi sangat terasa. Tak nampak, tapi begitu mengena. Begitulah kira-kira jika ku buat perumpamaan.Sebenarnya, aku juga bingung ketika harus mengeluarkan semua isi pikiranku untuk menyaring ceritaku. Apalagi jika wajah orang-orang itu seperti berkeliling di atas kepalaku. Ya! Orang-orang itu, atau lebih tepatnya keluarga baruku, sahabat-sahabatku, terkadang jadi musuhku, atau apalah! Terlalu banyak gelar yang bisa kuberikan secara khusus kepada mereka semua. Aku tak peduli siapa mereka, darimana asal mereka, apakah mereka kaya atau miskin, pandai atau bodoh, hitam atau putih, dan segala hal apapun tentang deskripsi orang-orang itu. Mereka bukanlah siapa-siapa, mereka sama sepertiku. Mereka adalah orang-orang yang bisa saling membuat tawa, kekonyolan, kesal, bahkan marah. Tak ada rasa yang lebih, tak ada cinta selayaknya sepasang kekasih, namun semua seperti terikat pada lingkaran yang menjadikannya saling melindungi dan mengayomi. Rasa itu adalah seperti persaudaraan, untuk bisa saling menjaga dalam waktu yang singkat itu, bahkan untuk seterusnya.
Tawa itu, teriakan itu, kesal itu, keluhan itu, perlahan mengalir lagi dalam ingatanku. Sebelas anak manusia yang semula merasa terperangkap dalam sebuah rumah setengah jadi, yang pada mulanya mengeluh perihal cuaca dan udara yang tak bersahabat. Pada akhirnya semua berbalik. Dingin yang merasuk melalui celah-celah batu bata yang tersusun rapi itu seakan lenyap dengan gerai tawa yang tiap waktu bergulir. Dengkuran-dengkuran dan suara angin dari “lubang belakang” yang sering membuat semua orang berlari menjauh. Bau tak sedap bercampur bahan kimia harum yang setiap waktu tercium oleh hidung. Asap rokok yang hampir selalu mengepul di depan kamar. Keluh kesah dan kata-kata yang mengalir dari bibir untuk bisa saling berbagi pengalaman hidup. Tak jarang pula menjadi sasaran untuk menjadi badut pengibur, dan canda untuk saling menyalahkan walaupun berawal pada niat untuk tidak mempersalahkan itu semua. Hujan bukan lagi masalah, justru menjadi sahabat ketika seharusnya acara keluar rumah menjadi gagal. Dan, aroma alas tidurpun menggugah semangat untuk bisa kembali berkelana ke alam lain. . . Hangat. Sangat nyaman, dengan ditemani suara jangkrik dan sayup-sayup daun yang bergoyang bersama ranting di pohon. Keraguan itu terjawab sudah, lanyap, tak membekas..
Ya. Aku rindu masa-masa itu. Sekali lagi ingin ku katakan, bukan hanya aku, tapi puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang yang mengalami nasib sama sepertiku. Dan sudah kupastikan, sepuluh orang lainnya yang tiga puluh lima hari berada pada satu rumah bersamaku. Ahh..aku tak ingin menyebutnya hanya sekedar rumah. SARANG. Tapi jangan salah menilai jika sebutan itu adalah hinaan. Salah besar. Secara filosofis, sarang adalah tempat dimana para burung menuai kehangatan satu sama lain, berkicau bersama anak-anaknya dan sang induk memberi makan serta mendekap anak-anak mereka. Sarang kami itu belum sepenuhnya tembok, namun terasa seperti surga fana yang menghubungkan mata langsung menghadap kemegahan Sindoro, sebuah ciptaan Tuhan terindah. Sarang dengan lantai yang menimbulkan suara ketika kaki-kaki ini bejalan, berlari, melompat. Sarang dengan debu-debu yang menempel pada setiap sudut. Sarang dengan atap rendah dan sering menjadi musuh kepala orang yang sengaja menghantamnya. Bahkan, sarang itu jauh lebih baik dari Istana semegah apapun, dan aku tak rela jika sarang itu disamakan dengan gubuk. Biarpun tiap detik angin menelusup masuk melalui celah-celah yang tak terlihat mata, air mengembun pada tembok yang membuat tubuh menggigil saat malam tiba, dan suara berisik pijakan kaki membangunkan orang yang sedang terlelap, tak jadi soal. Inilah seninya.
Suara-suara yang berbeda dari tiap penghuni lantai atas. Begitu ramai, tak berkesan bijak, namun penuh arti. Ketika ucapan-ucapan itu terngiang di telingaku. Jelas, dan sangat jelas.
“Acemm!”
“Hahaha…kerdus!! Kerdus!!
“Leleeeeeee…….!!!!!”
“Air bah!”
“Wah, lagi PS-an kae!”
“Iiiiihhh… siapa yang kentut?!!!!!”
“Seolah-olah”
“Srutuuuuppppp…” (ingus)
“hihihihihihihi…”
“Ga usah mandi, katanya go green?!!”
“Dan ternyataaaaaaaaa………”
“Wah, sing telpon lanang terus!”
“Marah ya?”
“Hah????!!!!!! Jalan sampai canggal????????!!!!!!!!!
“Beliin mijon yang ijo ea!”
“Aku nitip UJ!”
“Fotoin kita donk!”
“Pijitin donk!”
“Liatin deh dia kalo makan!”
“Semprotannya mana???!!!”
“Weeeeeeeeeekkkkkkkkkk…….!!!!!”

Semua itu, begitu jelas terekam dalam locus-locus otakku. Hanya ingatan, kenangan, dan senyum sebagai representasi atas semua. Dalam anganku, seakan ingin bisa mengulang masa itu lagi. Masa bersama orang-orang dalam tiga puluh lima hari di tempat yang indah itu. Dan, satu hal yang sampai saat ini akupun acuh terhadapnya, bahkan terlupakan untuk mengucap, “TERIMA KASIH KAWAN”.
Terima kasih untuk tawa, canda, peringatan, kebaikan, pertolongan, pelajaran, penghargaan dan semuanya. Momen yang sangat berharga itu akan menjadi cerita dalam kisah hidupku.

“Terlalu manis untuk dilupakan, kenangan yang indah bersamamu tak kan terganti…” (slank)

“Jika tua nanti kita tlah hidup masing-masing, ingatlah hari ini...” (Project Pop)

_special for BOLO AWAK_


0 komentar:

Posting Komentar