PAGI SEPERTI BIASA

Rabu, 17 April 2013
Pagi ini, sama seperti pagi-pagi kemarin dan mungkin juga esok. Kulangkahkan kaki menyusuri jalan ke tempat biasa kutuju setiap harinya. Mataku berkeliaran menengok kanan kiri, sekedar rekreasi melihat dunia sekitar. Suara bising kendaraan, para sopir angkutan,  pegawai dan anak sekolah yang berkejaran dengan waktu menambah ramainya suasana pagi. Pak Polisi yang sibuk dengan peluitnya untuk membantu menyeberangkan para pejalan kaki. Sepanjang jalan, kutapaki langkah pelan sambil sedikit melamun, ku lihat beberapa pemulung dengan kantong besar yang dibawanya, mencari rupiah dari sampah, membuka setiap tutup bak sampah yang ia temui. Wajahnya yang kusam, kulitnya yang hitam bertarung dengan sengatan panas matahari, peluh yang mengkilat nampak di wajahnya, serta raut muka yang terlihat lebih tua dari usia yang seharusnya. Tak jauh beda dengan para tukang becak yang sedang bercengkrama sambil menunggu para penumpang yang membutuhkan jasanya. Ku lihat lurus kedepan, langkah demi langkah, kulihat wanita setengah baya membawa barang dagangan di punggungnya, besar dan tentu saja berat, berjalan sampai membungkuk untuk menopang barang dagangannya. Aih, kulihat mereka sekilas, dalam hati mengagumi perjuangan mereka yang begitu besar untuk menghidupi keluarganya. Seharusnya aku bersyukur, setidaknya aku lebih beruntung daripada mereka.

Kakiku terus melangkah, dan mataku tetap saja menangkap semua fenomena yang ada di sekelilingku. Di kanan kiri jalan yang kulewati setiap hari, berjejer rumah-rumah mewah. Rumah dengan halaman luas dan pagar tinggi, berlapiskan kawat-kawat tajam seakan siap menyakiti siapapun yang berusaha untuk memanjatnya. Pagar yang begitu rapat, bahkan tak jarang kulihat tamu yang berteriak-teriak dan menunggu lama di depan pagar itu untuk menemui si tuan rumah. Kadang aku iseng, dari celah pagar itu kulihat sedikit isi halaman rumah, mobil mewah berjejer di dalamnya. Pikirku, ini pasti rumah pejabat atau pengusaha. Ah, sudahlah. Kembali ku berjalan sambil sedikit melamun, terbayang betapa kontrasnya hidup ini.


Menit demi menit, kaki ini melangkah, tak terasa sedikit lagi sampai ke tempat tujuanku. Di depan tempat itu, hampir setiap pagi kujumpai orang yang sama. Seorang kakek tua, berkaos orange lusuh dan kotor, membawa karung dan keranjang besar berisi sampah. Selalu ia menyapaku dengan senyuman, "tindak mbak?", dan pasti balas dengan sedikit tawa kecil, "nggih mbah." Pikirku, hebat sekali kakek itu, sudah di umurnya yang senja, seakan semangatnya tak pernah luntur dimakan usia. Beberapa detik kemudian, kuhentikan langkahku dan ku tengok ke belakang, melihat sosok kakek itu berlalu, dari kejauhan kulihat ia berjalan dengan pikulan yang berat di pundaknya. Dalam hati aku bergumam, "Semoga Allah selalu menjagamu, mbah".

0 komentar:

Posting Komentar